Jumat, 23 Oktober 2015

Pluralisme Sebagai Kekuatan persatuan

Pluralisme bangsa adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman di dalam suatu bangsa, seperti yang ada di Indonesia. Istilah plural mengandung arti berjenisjenis, tetapi pluralisme bukan berarti sekedar pangakuan terhadap hal tersebut. Namun mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi. Oleh sebab itu, pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi tetapi tidak mengakui adanya pluralisme di dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme ternyata berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas-komunitas tersebut mempunyai budaya masing-masing dan keberadaan mereka diakui negara termasuk budayanya.Budaya di dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting karena menjadi alat perekat di dalam suatu komunitas. Oleh sebab itu, setiap negara memerlukan politik kebudayaan (Harrison and Huntington, 2000). Bahkan Gandhi menunjukkan bahwa budaya sebagai alat pemersatu bangsa. Senada dengan itu, Soedjatmoko (1996) mengungkapkan Indonesia memerlukan adanya suatu politik kebudayaan sebagai upaya 3 mengikat bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang besar. Keberagaman budaya melahirkan multikulturalisme.Multikulturalisme berkaitan erat dengan epistemologi. Berbeda dengan epistimologi filsafat yang memberi arti kepada asal-usul ilmu pengetahuan. Demikian pula epistimologi di dalam sosiologi yang melihat perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kaitannya dengan kehidupan sosial. Multikulturalisme dalam epistimologi sosial mempunyai makna yang lain. Dalam epistimologi sosial, tidak ada kebenaran mutlak. Hal itu berarti ilmu pengetahuan selalu mengandung arti nilai. Di dalam suatu masyarakat, yang benar adalah yang baik bagi masyarakat itu, biasanya dibudayakan pada anggota masyarakatnya melalui belajar (Tilaar, 2004: 83). Kebudayaan merupakan salah satu modal penting di dalam kemajuan suatu bangsa. Modal suatu bangsa untuk maju dan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dan menggalang kekuatan terutama di dalam era globalisasi. Dasar multikulturalisme antara lain adalah menggali kekuatan suatu bangsa yang tersembunyi di dalam budaya yang berjenis-jenis. Setiap budaya mempunyai kekuatan tersebut. Apabila dari masing-masing budaya yang dimiliki oleh komunitas yang plural tersebut dapat dihimpun dan digalang tentunya akan merupakan suatu kekuatan yang dahsyat melawan arus globalisasi, yang mempunyai tendensi monokultural itu. Monokulturalisme akan mudah disapu oleh arus globalisasi, sedang multikulturalisme akan sulit dihancurkan oleh gelombang globalisasi tersebut. Multikulturalisme memang dapat juga menyimpan bahaya, yaitu dapat tumbuh dan berkembangnya sikap fanatisme budaya di dalam masyarakat. Apabila fanatisme muncul maka akan terjadi pertentangan di dalam kebudayaan yang pada akhirnya merontokkan seluruh bangunan kehidupan dari suatu komunitas. Apabila multikulturalisme digarap dengan baik, maka akan timbul rasa penghargaan dan toleransi terhadap sesama komunitas dengan budayanya masing-masing. Kekuatan di dalam masing-masing budaya dapat disatukan di dalam penggalangan kesatuan bangsa. Kekuatan bersama itu dapat menjadi pengikat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap saling menghargai, toleransi, mampu hidup bersama dalam keragaman adalah tujuan dari multikulturalisme, yang dapat dimiliki setiap insan melalui pendidikan, yang dikenal dengan pendidikan multikultural.

Pluralisme kehidupan bangsa dan negara Indonesia ternyata menjadi satu problem tersendiri bagi eksistensi tumbuhnya kesadaran nasional dalam upaya penegakan demokrasi. Dalam tiap periode pemerintahan Indonesia terhitung dari presiden Soekarno sampai SBY di warnai isu dan gerakan penuntutan pemisahan diri dari NKRI, di antaranya: pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pemberontakan Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, tragedi Nasional GS30PKI, RMS, Operasi Papua Merdeka, dan yang paling memprihatinkan adalah disintegrasi Timor-Timur/Dili. Gerakan yang terakhir menjadi satu bentuk kegagalan bangsa Indonesia dalam mempertahankan persatuan negara dan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan hingga saat ini. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto menghantar bangsa dan negara Indonesia pada perjuangan dan pembenahan penegakan kembali demokrasi Pancasilanya yang sekian lama hanya jadi bayang-bayang pemerintahan sebelumnya. Era reformasi (bagi banyak kalangan) menjadi satu momen penegakan kembali, tidak hanya soal transformasi haluan penyelenggaraan negara, tetapi terutama penegakan emansipasi hak-hak masyarakat yang selama ini dibungkam. Reformasi dipercaya dapat menjadi solusi bagi bangsa dan negara ini. Nyatanya, era reformasi bukan satu capaian yang begitu sempurna, sebaliknya ia juga membawa satu kekuatan destruktif hanya oleh karena bias tafsir dan pelaksanaannya, yaitu perihal kebebasan. Tak heran sehari-hari kita disuguhkan dengan anarkisme dan kriminalitas atas nama kebebasan dan bahkan semua-semua yang berlangsung baik ataupun buruk selalu atas nama kebebasan (HAM). Jika pemaknaan demikian, tentu era reformasi akan menjadi satu racikan demokrasi Indonesia yang berdampak pada malapetaka persatuan bangsa dan negara.

Problem pluralitas dan diintegrasi sesungguhnya telah diantisipasi oleh periode pemerintahan pertama Indonesia. Ketidakstabilan penyelenggaraan negara pasca kemerdekaan mungkin menjadi pertimbangan bagi Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1965) sebagai upaya kontrol atas carut-marutnya penyelenggaraan negara saat itu. Ada tiga alasan yang menjadi landasan penerapan sistem Demokrasi Terpimpin yang salah satunya menanggapi isu dan pergerakan separatis. Tumbangnya Orde Lama kepemimpinan Soekarno, maka lahirlah Orde Baru (1965-1998) dibawah kekuasaan Soeharto mungkin menjadi satu sejarah panjang kekelaman demokrasi di Indonesia. Kemajemukan Indonesia sebisa mungkin ditekan dengan kekuatan militer guna mencapai stabilitas nasional dan pembangunan nasional yang menjadi priorotas. Kemajemukan (plurality) dipaksakan menjadi satu keseragaman (Uniformity). Di satu pihak, tindakan represif ini berhasil menggenapi prioritas pemerintah, namun di pihak lainya, memupuk rasa dendam yang kian besar dan mendalam oleh kelompok-kelompok sosial tertentu dari waktu ke waktu ibarat bom waktu yang tinggal menunggu momen untuk meledak. Akhirnya, realitas pluralitas menjadi semakin signifikan tidak hanya pada aspek jumlah kumulatifnya, tetapi juga kualitas kemajemukan kian menjadi nyata oleh karena pecahnya konflik pikiran dan perasaan untuk merealisasi kebebasan atau kewajiban menjalani realitas sosial dibawah tekanan negara. Ketika roda pemerintahan Indonesia kembali berputar dari totaliter ke arah reformasi, maka bom itu pun akhirnya meledak dan pemerintah harus bekerja keras menghadapinya karena taruhannya adalah persatuan bangsa dan negara Indonesia.

Guna menumbuh-kembangkan persatuan bangsa dan negara ini, pemerintah tidak hanya cukup dengan mengumandangkan kesatuan negara ini, di antaranya: kesatuan sejarah, kesatuan geografis, kesatauan simbol negara, kesatuan ideologi negara, kesatuan bahasa, kesatuan UUD 1945, dan pelbagai bentuk kesatuan yang lain. Harus diingat bahwa pasca kemerdekaan Indonesia, kita oleh para tokoh bangsa dan negara dipersatukan melalui kesatuan-kesatuan dalam pelbagai aspek dengan harapan bahwa tumbuhnya kesadaran nasional oleh masyarakat Indonesia yang sedemikian pluralisnya sebagai satu bangsa dan negara. Sejatinya kemajemukan bangsa dan negara Indonesia menyiratkan sekian banyaknya perbedaan dalam tubuh dan bangsa ini yang berpotensi pada konflik dan perpecahan sehingga karenanya masyarakat Indonesia seyogianya disatukan dalam kesatuan-kesatuan yang diciptakan. Pluralitas adalah satu yang alamiah jauh telah ada sebelum negara dan bangsa Indonesia didirikan dengan pelbagai bentuk kesatuan dikemudiannya. Tugas negara adalah pengupayaan melalui manifestasi kehidupan sosial yang telah disiratkan dalam pelbagai bentuk kesatuan negara ini, Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai pedoman haluan penyelenggaraan negara Indonesia. Pada kesempatan pertama Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk perjanjian sosial dalam kontrak sosial pembentukan negara dan bangsa Indonesia. Hak-hak dalam realitas kemajemukan diorganisir secara proporsional dan berimbang dalam isi Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat Indonesia dengan pelbagai kemajemukannya selanjutnya sepakat dan berpartisipasi di dalamnya karena percaya dan yakin adanya jaminan negara atas kelangsungan hidupnya. Ini proses paling pokok bagaimana kesadaran nasional itu dapat lestari dan berkembang. Kesamaan realitas sosial, seperti pengalaman sejarah senasib dalam penderitaan oleh karena bangsa penjajah, hanya menjadi aspek pencetus lahirnya kesadaran nasional yang harus diikuti dengan upaya pembangunan kehidupan sosial lainnya. Kita tidak bisa semata mendasarkan diri pada kesamaan kenyataan sosial demikian, karena yang paling fundamental adalah soal nilai-nilai budaya yang lebih dulu dan terinternalisasi pada masing-masing kelompok sosial di Indonesia sebelum berdirinya bangsa dan negara ini. Ini lebih pada jaminan kepentingan-kepentingan sosial yang berbeda dalam konteks kehidupan bersama dan Pancasila dan UUD 1945 telah menyiratkannya dan tinggal bagaimana pemerintah merealiasikannya. Sehingga paling penting bagi pemerintah Indonesia adalah bagaimana menerjemahkan secara baik dan benar kesatuan-kesatuan bangsa dan negara Indonesia dalam praktis penyelenggaraan negara dan bangsa Indonesia di tengah-tengah banyaknya perbedaan kelompok-kelompok sosialnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar